Rabu, 17 Juni 2009

Pengaruh Udara Pada korona dan Tegangan Kritis Korona

Di posting oleh: HaGe

Seperti telah dijelaskan di artikel sebelumnya di sini, bahwa proses ionisasi yang terus-menerus dan berkelanjutan akan membentuk banjiran elektron. Maka pembentukan banjiran elektron ini tergantung pada kecepatan mula dari elektron dan percepatannya selama ia bergerak disepanjang jarak bebas antara dua tubrukkan. Ada gradient permukaan yang terbentuk dimana korona ini akan terjadi. Tegangan yang dimiliki pada gradient ini dinamakan “permukaan tegangan korona” atau secara tepat juga dinamakan permulaan tegangan korona mulai kelihatan.

Nilai dari tegangan ini tergantung pada:
• Keadaan atmosfer disekitarnya.
• Keadaan dari permukaan kawat.
• Bentuk susunan kawat.

Jadi tegangan kritis pada udara dan pada waktu terjadinya kegagalan sesuai dengan persamaan berikut:


Pada waktu terjadinya breakdown diudara Ed = 30 kV/cm atau 3000 kV/m.

Jadi tegangan kritis adalah sebesar:


D dan r didalam netral.

Bila dijadikan R.M.S maka:


Dan bila dirubah menjadi log 10, maka:


Didalam prakteknya, masih ada koreksi yang disebabkan oleh keadaan permukaan kawat yang tidak rata, karena itu harga diatas masih harus dikalikan dengan factor mo yang besarnya seperti dibawah ini:
• mo = 1,0 untuk kawat yang licin.
• mo = 0,98 s/d 0,93 untuk kawat kasar yang sudah lama dipasang.
• mo = 0,87 s/d 0,83 untuk kawat stranded terdiri dari 7 kawat halus.
• mo = 0,85 s/d 0,80 untuk kawat stranded yang terdiri dari 19, 37, 61, kawat halus.

Sehingga persamaan tegangan kritis menjadi:


Nilai ini berlaku pada cuaca cerah, sedangkan pada cuaca buruk (seperti mendung, hujan) naka harga tegangan harus dikalikan dengan factor koreksi untuk menyesuaikan dengan kenyataan. Adapun factor koreksinya adalah 0,8.

Jadi dalam hal ini, pada keadaan cuaca buruk:

Ed (RMS) = 0,8.Ed(RMS)t

Ed (RMS)t = Ed pada cuaca cerah.

Tegangan Kritis Bilamana Korona Mulai Kelihatan

Bilamana tegangan mencapai tegangan kritis maka korona ini belum kelihatan, sebab untuk menjadi kelihatan, maka muatan yang terdapat diudara haruslah menerima suatu energi tertentu, sebelum udara ini meneruskan ionisasinya yang disebabkan oleh adanya tubrukan elektron dengan atom yang lain.

Menurut “PEEK”, tegangan kritis ini haruslah mempunyai nilai sehingga melebihi harga tegangan breakdown dari udara sekelilingnya hingga jarak sebesar 0,03.d.r (meter) dari konduktor. Bilamana hal ini terjadi, maka korona akan mulai kelihatan. Oleh karena itu korona mulai kelihatan bilamana breakdown ini terjadi sampai pada suatu jarak (r + 0,03.d.r) dari titik tengah konduktor (bukan lagi berjarak = r), hingga tegangan kritis ini akan naik, sebab potensial gradient bertambah dari Ed menjadi Ev. Tetapi harga Ev tidak tetap karena ia bergantung dari besar jari-jari konduktor, sehingga:


dapat juga dituliskan;


Jadi tegangan kritis “korona kelihatan”, menjadi:


Nilai dari mv adalah tergantung pada keadaan konduktor, yaitu:
• mv = 1,00 untuk kawat yang licin.
• mv = 0,93 s/d 1,00 untuk kawaqt biasa.
• mv = 0,72 untuk korona pada sepanjang kawat.
• mv = 0,82 untuk korona yang tetap pada sepanjang kawat.

Dari persamaan itu terlihat bahwa tegangan kritis ini (tegangan kritis bilamana korona mulai kelihatan) dari kawat transmisi nilainya dapat dinaikkan dengan cara:
• Menaikkan jarak kedua kawat (D)
• Memperbesar diameter kawat (r)

Dari kedua alternatif diatas, lebih baik dipilih memperbesar diameter (r), karena dengan menaikkan nilai r, maka biaya untuk pembuatan tiang listrik dapat ditekan rendah dan juga reaktansi dari sistem transmisi dapat dibuat rendah.

Oleh karena itu, supaya r besar maka dapat dipakai kawat yang stranded atau bundle conductor. Didalam prakteknya penggunaan bundle conductor mungkin tidak menguntungkan pada sistem dengan tegangan lebih rendah dari 220 kV. Tetapi dengan sistem Tegangan Ekstra Tinggi, pengguna bundle conductor lebih menguntungkan.

Pada sistem tiga fasa, gradient tegangan dari setiap kawat tergantung dari susunan kawat tersebut. Sebagai contoh untuk menghitung gradient tegangan dari system tiga fasa adalah seperti berikut: misal setiap fasa terdiri dari satu kawat dan kawat disusun secara mendatar.



Gambar 1. Gradient tegangan pada susunan kawat secara mendatar

Nilai maksimum dari potensial gradient:


• Untuk korona yang kelihatan Vv:


Dan dikalikan dengan:

• Sehingga nilainya menjadi:


gv = 3000 kV/m

• jadi tegangan kritis korona kelihatan adalah:

terhadap netral/m

Bilamana diambil h = 0,05 D; 2h = jarak antara konduktor dengan bayangannya.



• Jadi tegangan kritis korona kelihatan adalah:





kV peak / m

• Nilai RMS dari tegangan kritis ini adalah:

kV (RMS) terhadap netral / m

Bilamana kawat terdiri dari kawat yang dibundel dan disusun secara horizontal.



Gambar 2. kawat susunan horizontal.

Nilai maksimum dari potensial gradient adalah:


Jika h = 0,5 D, maka:



Gejala Korona Pada Sistem Tegangan Tinggi

Di posting oleh: HaGe

Artikel kali ini akan menjelaskan mengenai gejala-gejala pada sistem tegangan tinggi, diantaranya teori yang akan dibahas adalah gejala korona, pengaruh udara pada korona, dan tegangan kritis korona.

Gejala Umum

Dengan semakin besarnya energi listrik yang disalurkan melalui kawat transmisi, maka makin tinggi pula kerugiannya, Namun hal ini dapat diminimalkan dengan menaikkan tegangan dari kawat tersebut, seperti telah dijelaskan pada artikel tegangan transmisi dan rugi-rugi daya di sini. Akan tetapi dengan menaikkan tegangan kerja transmisi, akan timbul pula faktor-faktor lain yang dahulunya belum kelihatan dan masih diabaikan.

Adapun faktor-faktor itu diantaranya:
• Adanya gejala korona yang semakin menonjol, yang berakibat adanya kerugian energi dan gangguan RI (radio interference) yang sifatnya merugikan.
• Dengan semakin tingginya tegangan maka timbul persoalan mengenai isolasi kawat, bentuk tower dan mungkin prosedur pengoperasiannya yang berbeda.
• Timbulnya masalah isolasi pada alat-alat yang menyebabkan perubahan konstruksi sehingga perlu menyelidiki lebih lanjut mengenai bahan-bahan isolasi.

Semua hal tersebut diatas, mengakibatkan kenaikan investasi yang lebih tinggi sehingga diperlukan penyelidikan, penyesuaian konstruksi, operasi dan lain-lain. Sedangkan persoalan yang akan dibahas disini hanyalah masalah yang pertama, yaitu timbulnya gejala korona.

Gejala Korona
Elektron yang bebas bergerak diudara umumnya berasal dari radiasi radio-aktif yang terdapat di alam bebas dan juga dengan adanya sinar kosmik. Elektron-elektron yang posisinya dekat dengan kawat trasnmisi dipengaruhi oleh adanya medan listrik yang menuju ke atau menjauhi kawat tersebut.

Selama gerakannya ini, elektron yang melewati gradient medan listrik akan bertubrukkan dengan molekul dari udara, yang kemudian terjadi ionisasi pada molekul tersebut. Karena adanya ionisasi tersebut, maka akan terdapat ion positif dan elektron yang bebas, yang akan akan mendorong terjadinya ionisasi lanjutan. Proses ini berkelanjutan yang kemudian membentuk banjiran elektron (avalance).

Bilamana banjiran elektron ini melintasi dua kawat yang sejajar, maka ia akan menyebabkan terjadinya perubahan pembagian gradient tegangan-tegangan dari udara diantara kedua kawat tersebut dan penataan kembali dari gradient ini dapat menyebabkan harga tegangannya melampaui kekuatan (tegangan breakdown) dari udara. Ini akan menyebabkan terjadinya kegagalan dari sifat isolasi yang dimiliki oleh udara yang terletak disekitarnya.

Bilamana penataan kembali ini hanya menyebabkan sebagian perubahan potensial gradient dari udara, misalnya hanya daerah sekitar kawat saja yang mengalami perubahan, maka perubahannya terbatas hanya pada satu kawat saja.

Oleh karena itu korona disifatkan sebagai:

“Terjadinya suatu pelepasan muatan yang bermula pada permukaan dari suatu kawat bila nilai medan listrik pada permukaan kawat itu melampaui nilai tertentu”
Sedangkan nilai tertentu tersebut adalah harga medan listrik dimana pada saat itu mulai terjadinya pelepasan muatan ke udara sekitarnya. Gejala ini dapat terjadi pada segala macam kawat, tidak peduli seberapa besar diameter kawat tersebut, asalkan diberi tegangan yang cukup tinggi. Didalam prakteknya, hal ini akan terjadi bila tegangan antara kawat fasa melebihi 100 kV. Namun bisa saja pada tegangan dibawah itu dapat terjadi,korona asalkan syarat-syarat untuk terjadinya korona sudah terpenuhi.

Selasa, 05 Mei 2009

RJBR Gunakan Pesawat Tanpa Awak Pantau Transmisi
:: 07-04-2009 17:30:53



Sementara banyak negara memanfaatkan pesawat tanpa awak (unmanned aero vehicle/UAV) untuk perang, PLN P3B Jawa Bali, Region Jawa Barat (RJBR) berencana menggunakannya untuk kepentingan damai dan bermanfaat bagi kepentingan umum. Israel secara ekstensif menggunakan UAV selama agresinya ke Lebanon dan Palestina dan Amerika saat invansi ke Irak, tapi RJBR berencana menggunakan pesawat sejenis untuk memeriksa kondisi tower berikut jaringan ROW di wilayah kerjanya.

Menurut Jemjem K. Rahardja, Manager RJBR, ide awalnya dari GMP3B Jawa Bali, Nur Pamudji. Lalu kita cari komunitas yang biasa melakukan kegiatan Aero Modeling di Bandung, dan ketemu, ada di daerah Arcamanik. Maka, ”pada di sela-sela Rapat Operasi Sistem, setelah melihat Pameran Ipteks di ITB, Senin, 2 Maret 2009, bersama GM kita pun meninjau ke lokasi komunitas aero medeling itu,” cerita Jemjem, sambil menyaksikan percobaan pemotretan yang dilakukan UAV jenis Helikopter pada Tower 70 kV CGRLG-PDLRG, Senin, 6 April 2009, di komplek Mekarwangi, Bandung.

Jemjem menjelaskan, RJBR akan terus mengkaji dan mengembangkan pemanfaatan UAV tersebut sampai benar-benar dapat diimplementasikan di lapangan kerja. Tahapan yang akan ditempuh melalui berbagai percobaan pesawat dan kelengkapannya. Jika berhasil akan dilanjutkan dengan menyiapkan IK (Instruksi Kerja) untuk kejelasan prosedur dan metode cara kerjanya, dan terakhir menyiapkan SDM yang akan mengoperasikan melalui training.

Sejauh ini, setelah dilakukan lima kali percobaan dan penyempurnaan terhadap pesawat (jenis helikopter) dan kelengkapannya, menunjukkan hasil yang semakin memuaskan. Foto-foto hasil pemotretan isolator, konduktor dan bagian-bagian lain dari tower transmisi semakin jelas dan cukup dapat dijadikan bahan evaluasi untuk tindakan pemeliharaan atau perbaikan lebih lanjut. Hasil foto yang semakin jelas karena ditunjang semakin stabilnya pesawat. Medan listrik dan medan magnet yang dikuatirkan berpengaruh terhadap aktuator dan peralatan kamera pun tidak terbukti, setelah dilakukan percobaan pada SUTET 500 KV di Bandung Selatan, 16 Maret 2009.

Memang masih belum sempurna, ”Hasil foto isolator suspension dari samping dan atas baik dan jelas, namun pengambilan foto dari bawah untuk melihat fitting isolator masih kurang jelas (siluet) karena melawan cahaya matahari, karena itu kami mengajak para fotografer untuk turut memberi masukan,” ujar Jemjem, menunjuk Ahmad Sofyar, fotografer RJBR dan A. Ruslan, staf Humas P3B Jawa Bali. Jemjem optimis, bila perkembangannnya semakin baik, tahun ini juga RJBR akan mengoperasikan UAV.

Jaka Prahasta, ST dari CV Division AERO, pihak yang diajak kerjasama dalam pengembangan UAV untuk kebutuhan PLN, menjelaskan UAV yag digunakan dalam percobaan dengan PLN adalah jenis Helikopter dengan tenaga batere yang mampu terbang sekitar 10 menit, dengan kemampuan angkut beban sekitar 3 kg, dan dilengkapi gimpball system, yang mampu menggerakkan kamera foto dan video (dalam percobaan menggunakan merk Canon Powershot A650) kearah yang dikehendaki, dikendalikan/dioperasikan dari jarak jauh.

UAV versi Helikopter ini terbang dikendalikan secara remote oleh pilot di darat (RPV). Menurut Jaka, aplikasi sistim ini jarak terbangnya relatif pendek, tergantung pada kemampuan visual pilot dan jangkauan transmisi dari radio. Ini boleh jadi bagian kelemahannya, pilot, tentunya akan mengalami kesulitan menentukan orientasi pesawat pada jarak lebih dari 300 meter. Untuk menanggulangi kelemahan sistim ini, telah dikembangkan teknologi telemonitoring. UAV dilengkapi kamera video yang dipancarkan ke posisi pilot dalam sebuah 'ground station' secara real time sehingga pilot dapat melihat dan mengontrol gerakan UAV secara langsung.

Dengan demikian, saat pengoperasian nanti, selain pilot yang mengoperasikan pesawat, juga dibutuhkan seorang co pilot yang melakukan pemotretan, semuanya dilakukan dari jarak jauh menggunakan remote control. Untuk dapat menjadi Pilot UAV ini diperlukan training. Jaka memperkirakan untuk petugas PLN waktunya cukup satu bulan.

Selain jenis Helikopter, RJBR juga berencana akan menggunakan UAV jenis pesawat ain untuk kepentingan pemantauan ROW jaringan transmisi. UAV jenis pesawat yang dikendalikan secara autopilot. Aplikasi sistim ini untuk jarak menengah dan jauh tergantung pada tersedianya sumber daya UAV (kapasitas bahan bakar dan/atau baterai) yang mampu dibawa oleh UAV, misalnya terbang memantau transmisi dari GI ke GI. Sistim ini akan menggunakan beberapa sensor yang dikontrol oleh mikrokontroler, yang akan menghasilkan sebuah navigasi dan stabilitas terbang, antara lain GPS, gyroscope, thermophile , accelerometer, altimeter (elevation transducer), magnetic compass, dsb.

”Ini adalah proses kelahiran inovasi penting di P3B Jawa Bali, yaitu penggunaan pesawat tanpa awak untuk patroli SUTT/SUTET” komentar Nur Pamudji melalui SMS, yang mengaku ide ini muncul sejak dua tahun lalu. Ketika itu, Nur Pamudji, masih sebagai Manajer Bidang Operasi, yang ikut merasakan seringnya terjadi gangguan transmisi, antara lain akibat pernasahan pada ROW. Dan, memang, kondisi lokasi lapangan dan lingkungan ROW, seperti yang disampaikan Sachri, DM Pemeliharaan RJBR, banyak permasalahannya, dan diantaranya banyak yang sulit dijangkau petugas. Karena itu, pemanfaatan UAV bisa menjadi alternatif jitu membantu pemeliharaan jaringan transmisi, khususnya yang sulit dilakukan oleh petugas.

Berapa harga pesawat? Belum bisa ditentukan secara pasti. Kondisi terakhir, dengan berbagai kelengkapan dan tambahan teknologi yang diterapkan pada Helicam, istilah yang digunakan RJBR, harganya berkisar Rp 80 juta-an. Tapi, seperti disampaikan Supriyono, DM SDMAD RJBR, harga pesawat bisa identik dengan mobil ”Pada penawaran pertama harga mobil mungkin cuma Rp 120 juta-an saja, tapi itu dalam keadaan standar. Setelah ditambah berbagai kelengkapan lain harganya bisa lebih dari Rp 200 juta.” ujarnya.

Karena itu, secara instensif RJBR terus melakukan percobaan. Bersamaan dengan itu dilakukan kajian analisa dan evaluasi atas pemanfaatan Pesawat Tanpa Awak (UAV) ini. Kajian antara lain meliputi biaya, waktu, dan dampak keandalan operasional, dengan memperbandingkan jika kegiatan yang sama dilakukan oleh tenaga manusia, pemeriksaan tower termasuk isolator secara visual maupun difoto dengan cara memanjat tower atau climb-up, juga bisa diperbandingkan dengan bila pelaksanaan pemotretan dengan video maupun thermovision dilakukan dengan menggunakan Helikopter sungguhan, sebagaimana pernah diwacanakan dan diujicoba oleh PLN beberapa tahun lalu.

”Yang harus dipertimbangkan juga,” kata Tatang Rusjaya, DM Enjiniring RJBR, yang turut diskusi di ruang rapat UJT Bandung, Senin (6/4) pagi, sebelum dilakukan percobaan penerbangan UAV yang kelimakalinya di komplek Mekarwangi, Bandung, ”banyak bagian tower yang sulit dijangkau atau membahayakan jika dilakukan petugas, dan jalur SUTT/SUTET pun medannya tak seluruhnya mudah dilalui melalui darat,” ujarnya. Atas dasar itu, Supriatna, Manajer UJT Bandung, mengusulkan percobaan berikutnya dilakukan pada transmsisi yang faktor kesulitannya lebih tinggi. Ditetapkan percobaan berikutnya akan dilakukan pada SUTET 500 KV di daerah Cirata, direncanakan pada 16 April 2009.

”Jangan lupa ikut lagi, kita akan naik perahu menuju ke lokasi,” pesan Jemjem mengingatkan staf Humas P3B Jawa Bali. ”Siap Pak!” Sebuah jawaban yang tak perlu pikir panjang. Suatu kesempatan langka bisa menyaksikan proses lahirnya inovasi baru P3B Jawa Bali, yang boleh jadi juga sejarah baru di PLN, di Indonesia, memanfaatkan pesawat tanpa awak (UAV) untuk peningkatan keandalan dan kelangsungan penyaluran tenaga listrik. (yus)






Seputar
Panen Perdana Lele di Bawah SUTET
:: 15-04-2009 16:01:16



GM PLN P3B JB Nur Pamudji melakukan panen perdana budidaya lele dumbo di Bawah jaringan SUTET 500 kV Gandul Kembangan, Gandul (15/4). Kegiatan tersebut merupakan Pilot Project Budidaya Lele Dumbo yang akan diimpelemntasikan pada prorogram Pemberdayaan Lingkungan pada masyarakat di sekitar jalur transmisi.

Panen perdana ditandai dengan pemotongan tumpeng oleh Vice Presidenr Corporate Social Responsibility (CSR) Dewi Septiani dan diserahkan kepada Ketua PI PLN P3B JB Liesye Nur Pamudji. Kemudian dilanjutkan pemukulan kentong oleh GM PLN P3B JB sebelum dilakukan pemanenan secara bergantian

Hadir pada panen perdana tersebut, VP Transmisi jawa Bali Ramli Hutasuhut, Anggota Komisariat Unit Bisnis Jawa Bali Kikid Sukantomo Adibroto, Albert Pangaribuan dan Sudirman serta beberapa manajer bidang PLN P3B JB Kantor Induk.

Poject budidaya lele dumbo dikelola Manajer Bidang Bidang Umum PLN P3B JB Affandi dan Deputi Manajer Administrasi dan Fasilitas Pramono DS. Untuk pelaksanaannya ditunjuk Suwardi, Basuki, Sarso, Mislan dan Royani.

Menurut Affandi, saat ini terdapat 12 belas kolam pembiakan dan sudah terisi seluruhnya. Penggalian tanah untuk dijadikan kolam dilakukan pada tanggal 19 Januari 2009. Sedangkan penebaran benih pertama pada 3 kolam pada tanggal 6 Maret 2009. Masing-masing kolam ditebar benih sebanyak 5000 ekor.

”Saat ini telah disediakan kolam beberapa kolam budidaya.” jelas Affandi. Satu kolam digunakan untuk indukan, 3 kolam pemijahan dan 3 kolam balita.

”Ikan yang dibudidayakan adalah ikan lele dumbo.” tambah Affandi yang juga akan dibudidayakan pula dari jenis lele sangkurian.

PLN P3B JB juga tengah mengembangkan pemanfaatkan Effective Microoragnisme (EM) pada pertanian dan peternakan. UGM, Yogyakarta digandeng sebagai mitra dan telah melakukan uji coba di GITET 500 kV Mandirancan, Cirebon, Jawa Barat.

Program Pilot Project Budidaya Lele Dumbo dibiaya dana CSR yang diharapkan sebagai program percontohan dan pelatihan. ”Khususnya pemberdayaan masyarakat di bawah SUTET.” tutup Affandi.